Selasa, 05 Januari 2010

SEJARAH tentang Kabupaten Merauke

Sedikit Informasi Tentang Kabupaten Merauke.
Tanah Merah atau Boven Digul. Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai kamp konsentrasi yang dibangun kolonial Belanda untuk mengasingkan para pejuang nasional. Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pernah dibuang ke sini.
Area ini dibangun pada 27 Januari 1927 oleh Kapten LTh Becking. Kawasan itu dulunya merupakan hutan rimba dan rawa-rawa tempat hidup ular dan buaya. Banyak juga korban pengasingan yang meninggal karena serangan nyamuk malaria. Tanah Merah di masa kini adalah ibu kota Kecamatan Mandobo, Kabupaten Merauke.
Selain tempat bersejarah itu, apalagi yang dikenal orang dari Merauke? Tidak banyak. Jika mendengar nama Irian Jaya mungkin ingatan orang akan langsung menuju ke karya seni patung Asmat yang terkenal itu, atau pakaian khas koteka. Namun, jika mendengar Merauke, apa yang akan diingat selain bahwa ia terletak di Irian Jaya?

Paling melekat tentunya lagu nasional Dari Sabang Sampai Merauke, yang dihafal anak-anak Indonesia sejak di bangku sekolah dasar. Lainnya? Tidak ada. Padahal, patung asmat dan koteka berasal dari wilayah berbeda di Irian Jaya.

Jika patung asmat dihasilkan oleh suku Asmat di Kabupaten Merauke, maka koteka lebih dikenal sebagai pakaian khas suku Dani dari Kabupaten Jayawijaya dan beberapa suku lain di Irian Jaya.

Konon, menurut legenda, penduduknya sejak dulu kurang mengenal tanah leluhurnya. Dikisahkan, dulu seorang pendatang yang pertama bermukim di sini bertanya kepada penduduk asli, bagaimana mereka menyebut nama daerahnya. Dijawab dengan “maro-ke” yang artinya “Itu adalah Sungai Maro”.

Ternyata, penduduk setempat menganggap Sungai Maro yang terdapat di wilayah ini lebih penting ketimbang wilayahnya sendiri. Sejak saat itu dikenal nama Merauke, hasil pelafalan yang salah dari “maro-ke”. Sebutan sebenarnya daerah ini adalah “Ermasoek”.

Nilai penting Sungai Maro hingga saat ini masih terasa. Sungai yang lebarnya lebih kurang 500 meter itu bersama sembilan sungai besar lainnya, yaitu Bian, Digul, Yuliana, Lorents, Unir, Kouh, Braza, Sirets, dan Bets, merupakan potensi sumber air tawar untuk pengairan dan prasarana angkutan.

Walaupun sungai dapat digunakan sebagai sarana transportasi, seperti daerah Irian Jaya lainnya, tidak seluruh wilayah Merauke dapat disinggahi dengan mudah. Wilayah yang luasnya hampir sama dengan Pulau Jawa ini sebagian besar masih merupakan hutan belantara.

Oleh karena itu, meski memiliki Sungai Maro yang legendaris, yang paling menonjol dari kabupaten ini adalah hutan. Hutan di Merauke, dengan luas areal terbesar di Irian Jaya, diberdayakan secara tradisional oleh penduduknya, juga secara modern oleh perusahaan pengolah hasil hutan. Terdapat 11 perusahaan non-HPH dan 15 perusahaan HPH yang memproduksi kayu bulat di wilayah ini.

Kabupaten yang luas darat-annya 11.974.900 hektar ini memiliki hutan tropis 11.768.265 hektar. Berarti 98 persen luas wilayah Merauke masih berupa hutan.

Sumber daya alam yang dimiliki Merauke terbukti memberikan kontribusi cukup besar bagi perputaran roda ekonomi. Tahun 2000 misalnya, kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau total kegiatan ekonomi per tahun. Rupiah yang dihasilkan lebih dari Rp 188 milyar, dari total sekitar Rp 1,1 trilyun.

Selain kehutanan, perikanan juga bersaing ketat untuk menjadi penyumbang terbesar bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi wilayah ini. Tercatat, produksi perikanan tahun 1999 dan 2000 di atas kabupaten/kota lain di Irian Jaya. Kontribusi tahun 2000 besarnya Rp 157,1 milyar. Angka ini menunjukkan kenaikan hampir lima puluh persen dari tahun 1999 yang besarnya Rp 104,9 milyar.

Tak heran, karena luas perairan laut Negeri Burung Kasuari ini pun terbilang besar, 75.000 kilometer persegi. Belum ditambah perairan umum 71.000 kilometer persegi. Dari kedua jenis perairan dihasilkan antara lain udang, ikan pelagis, ikan demersal, kakap, belanak, dan tengiri.

Tak lupa juga ikan arwana. Meski tidak tergolong potensi perikanan laut karena lebih banyak ditemukan di sungai-sungai di Merauke. Perburuan ikan arwana, khususnya yang masih anakan, sempat merajalela di tahun 2000. Populasi terbesar ikan ini di Sungai Kumbe, Bulaka, Biau, dan salah satunya di Sungai Digul. Berarti, Digul tidak identik dengan kamp pembuangan masa lalu yang ber-nyamuk malaria itu.

Yospan merupakan salah satu tarian adat irian jaya, yospan juga merupakan tarian adat yang sering dipakai dalam kondisi-kondisi penting. yospan juga merupakan tarian persahabatan masyarakat papua. Disamping Yospan merauke juga mempunyai tarian tradisional yang bernama Tarian perang, Tarian tradisional asmat,dan Tarian gatsi. tarian perang juga sering digunakan apabila ada upacara-upacara adat tertentu sedangkan tarian gatsi adalah tarian adat suku marind yang merupakan suku asli kota merauke. tarian ini biasanya digunakan pada acara-acara tertentu seperti upacara-upacara adat maupun acara-acara penting lainnya. Alat yang biasanya dipakai megiringi kedua tarian ini adalah Tifa,Jukulele. Tifa mirip seperti gendang cara dimainkan adalah dengan dipukul. Terbuat dari sebatang kayu yang dikosongi atau dihilangi isinya dan pada salah satu sisi ujungnya ditutupi, dan biasanya penutupnya digunakan kulit rusa yang telah dikeringkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. bentuknyapun biasanya dibuat dengan ukiran.sedangkan Jukulele mirip dengan gitar tapi mempunyai ukuran yang kecil cara memainkanyapun sama adalah dengan dipetik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar